Ini
bukan tentang rumah atau sisi gelapnya,
tapi
tentang kau yang secepat badai memporanda.
Lalu
sirna
Begitu tegurku saat
bertemu dengannya beberapa waktu lalu, seusai mendengar cerita dari saudara-saudaraku
tentang perubahan sikapnya. Aku takut kalau hal ini akan semakin membuatnya
buta, menjadikannya penghianat yang takut bertatap dengan kenyataan.
Aku hanya tak ingin ia
lupa darimana ia mendapatkan keberanian untuk berteriak lantang. Pergaulan luar yang tak mengenal batasan, etika yang di kesampingkan.
Pagi itu aku
menyempatkan diri untuk menemuinya, menanyakan kabar, ya serta tentang perubahan sikapnya yang
mendadak menjadi pria dewasa. Pria dengan pandangan dan persepsi kuatnya,
yang enggan melihat sekitaran. Perubahan yang mengkhawatirkan, terbalut
dengan bahasa yang dipaksa dan terkesan menggurui.
Perubahan sikapnya yang
amat drastic itu mengingatkanku dengan sesosok lelaki yang selalu kalah dengan
perasaannya sendiri. Ya, dulu sekali.
Ia adalah adik kelasku semasa masih di bangku SMA dulu, masih teringat dengan jelas betapa sempit
pemikirannya kala itu. Setiap hari ia hanya duduk di bangkunya, tak seucap katapun
yang keluar dari mulut besarnya. Ia merasa sangat kecil entah lantaran karna
apa? tapi yang ku tahu kalau ia adalah
seorang lelaki kecil berwajah sedih.
Hal itu membuatku
sangat terganggu, pelan-pelan aku mulai terdorong untuk lebih mengenalnya.
Tentu saja hal itu membuatku harus rajin masuk sekolah agar bisa menemuinya
setiap hari.
Ternyata kepedulian
kawan-kawan yang lain membuat perubahan pada dirinya. Sekarang ia mau bergabung
dengan salah satu kegiatan ekstra kurikuler sekolah yang kebetulan aku juga
terlibat di dalamnya.
Sekian waktu berjalan
dan pihak sekolah mulai memperhatikan kemauan besarnya untuk berubah. Namun tak
sedikit pula ada beberapa guru yang tersinggung atas sikapnya yang
kadang-kadang berlebihan. Dan tak jauh beda dengan siswa yang lain, kini ia
mulai terlihat wajar dan baik-baik saja.
Selang beberapa tahun
dan aku kembali menemuinya, ya lantaran perubahan sikapnya seusai lama
meninggalkan bangku SMA.
“sebenarnya ada apa?”
tanyaku,
“maksudnya?” penasaran.
Setelah panjang
berbincang, ahirnya terdengar sendiri olehku perkataannya yang terkesan
menggurui. Bahasanya rancu dan jauh dari focus. Tapi aku masih berkias dengan
kepura-puraan.
“Mungkin sudah saatnya
kita jauh dari rumah, aku tak ingin terlalu lama berdiam diri dan menjadi
pecundang. Kamu tentu mengerti apa yang aku maksud?”
Mendengar itu, akupun
segera mencairkan suasana.
“Memang secepat ini?
Kira-kira wanita beruntung mana yang akan kau pinang? Hehe”
“Berhentilah bergurau!
Aku tak ingin menghabiskan waktuku dengan gurauanmu itu, aku dan kamu sudah
saling mengerti ke mana arah perbincangan ini. Dan bukan sebuah kebetulan kita
bisa bertemu sapa di sini. Bukankah begitu? Cobalah untuk focus.”
“kau benar, sengaja aku
ke sini untuk menemuimu dan memang bukan tanpa alasan. Mendengar cerita beliau, seolah-olah kalau keluarga kita ini yang bersalah" belum usai aku bicara dan ia memotongnya.
“keluarga, apa aku tak
salah dengar? Apa ini yang kau sebut dengan keluarga, seorang ayah yang
mengajak anak-anaknya untuk minum bersama, ayah yang menggemborkan tentang
moral dan ia sendiri menyimpan botol di kamarnya? Kalian munafik.”
Mendengar pernyataannya
itu, aku merasa sangat terpukul.
“maaf, mungkin kau
benar. Aku tahu kau kecewa.”kataku merendah.
“yang paling dalam”
“Ini bukan tentang
rumah atau sisi gelapnya,
tapi tentang kau yang
secepat badai memporanda.
Lalu sirna, tiba-tiba menghilang entah ke mana. kemudian sekarang, lihatlah dirimu dengan segala keangkuhanmu.”
“Ini hidupku. Sebuah
kesalahan telah mengenal kalian. Dan jangan pernah libatkan adik-adikku! Aku
takkan rela jika kalian racuni mereka dengan dalil yang menjerumuskan mereka
pada kegagalan.” Ucapannya semakin keras.
“apa maksudmu?” tanyaku
lantang.
“tak usah berpura-pura
lagi.’
“lalu kenapa baru
sekarang kata-kata itu terlontar? Di mana suaramu saat kau masih bersanding dan
menikmati kegembiraan yang kau telan dulu bersama kami? Sekarang siapa yang
munafik? Apa kau malu bersama kami? Dan pada ahirnya, di sinilah kau akan
berteduh saat gerimis turun.” Ia hanya terdiam.
“Maaf, kini aku sudah
memiliki cara hidup yang lebih baik. Aku berbeda dengan kalian semua, termasuk
kau yang seperti robot. Kau yang tak punya pegangan hidup.”
“itu lucu.”
“menurutmu begitu? Aku
tak butuh kalian dalam menyeberangi jembatan panjang, aku sudah mampu berdiri
sendiri. Dengan pekerjaan yang mampu menjamin kehidupanku, dan bukan sekedar
janji seperti yang telah di sumpahkan padaku dulu.”
“mungkin memang belum
saatnya”
“sampai kapan? Sampai
putus harapanku? Justru seseorang yang kuanggap hebat no 2 dalam kehidupanku
dulu, kini mampu membuat diriku menjadi lebih berarti. Ia memang tak mampu
berjanji, tapi ia menunjukkan jalan padaku. Setelah beberapa lama aku
memamahami keduanya, kini aku sadar kalau aku salah dalam bersandar. Ia lebih
hebat dari pada ayah kita, dari segi manapun aku menganggapnya lebih unggul
darinya. Ya seorang ayah yang pernah mengajakku minum.”
“dan kini kau melupakan
keduanya? kenapa tak bersembunyi saja dalam almari jika memang ingin hidup
sendiri. Kau lupa, kau sendiri yang bilang kalau tak ingin lagi
mengagung-agungkan seseorang bukan? Tapi lihat dirimu sekarang?”
“ahiri saja percakapan
ini dan anggap saja kita tak pernah bertemu sebelumnya.”
“kau benar tapi aku
akan semakin merasa bersalah jika tak menegurmu, adikku. Pulanglah dan minta
maaflah pada beliau, perkataanmu kemarin membuat beliau bersedih. Tak
sepantasnya kau berkata demikian. Jika memang kejadian kemarin adalah sesuatu
yang membuatmu resah, jika keberadaan keluarga ini adalah sebuah kesalahan, katakan
sesuatu pada siapa yang pernah memberimu sumpah, sudah saatnya mulai berbenah,
jika kau terus bersembunyi, selamanya tak akan pernah ada jalan tengahnya”
Tak lama setelah di
mana aku bertemu dengannya, aku mendengar kabar tentangnya pagi itu.
Sikap berlebihannya itu
membawanya pada ruang di mana dia hanya di pandang sebelah mata, semua orang
meledeknya dan ia mengira kalau itu adalah sebuah pujian. Ia mabuk dengan sapaan
agung dan penghormatan dari lingkungannya yang sekarang.
selang beberapa minggu
tak ada kabar darinya, beberapa orang datang kerumahku dan membawakan jaket
yang biasa di kenakan olehnya. Ya, jaket kebanggaannya. Setelah berbincang
lama, aku pergi menemuinya dan menjemputnya pulang. Tubuhnya yang kaku tak lagi
merasakan sentuhanku, “beristirahatlah dengan tenang adikku.”
Jepara, September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar