Minggu, 21 Oktober 2012

Aku tak ingin dimengerti





Ini bukan tentang rumah atau sisi gelapnya,
tapi tentang kau yang secepat badai memporanda.
Lalu sirna

Begitu tegurku saat bertemu dengannya beberapa waktu lalu, seusai mendengar cerita dari saudara-saudaraku tentang perubahan sikapnya. Aku takut kalau hal ini akan semakin membuatnya buta, menjadikannya penghianat yang takut bertatap dengan kenyataan.

Aku hanya tak ingin ia lupa darimana ia mendapatkan keberanian untuk berteriak lantang. Pergaulan luar yang tak mengenal batasan, etika yang di kesampingkan.

Pagi itu aku menyempatkan diri untuk menemuinya, menanyakan kabar, ya serta tentang perubahan sikapnya yang mendadak menjadi pria dewasa. Pria dengan pandangan dan persepsi kuatnya, yang enggan melihat sekitaran. Perubahan yang mengkhawatirkan, terbalut dengan bahasa yang dipaksa dan terkesan menggurui.

Perubahan sikapnya yang amat drastic itu mengingatkanku dengan sesosok lelaki yang  selalu kalah dengan perasaannya sendiri. Ya, dulu sekali.

Ia adalah adik kelasku semasa masih di bangku SMA dulu, masih teringat dengan jelas betapa sempit pemikirannya kala itu. Setiap hari ia hanya duduk di bangkunya, tak seucap katapun yang keluar dari mulut besarnya. Ia merasa sangat kecil entah lantaran karna apa? tapi yang ku tahu kalau ia  adalah seorang lelaki kecil berwajah sedih.

Hal itu membuatku sangat terganggu, pelan-pelan aku mulai terdorong untuk lebih mengenalnya. Tentu saja hal itu membuatku harus rajin masuk sekolah agar bisa menemuinya setiap hari.

Ternyata kepedulian kawan-kawan yang lain membuat perubahan pada dirinya. Sekarang ia mau bergabung dengan salah satu kegiatan ekstra kurikuler sekolah yang kebetulan aku juga terlibat di dalamnya.

Sekian waktu berjalan dan pihak sekolah mulai memperhatikan kemauan besarnya untuk berubah. Namun tak sedikit pula ada beberapa guru yang tersinggung atas sikapnya yang kadang-kadang berlebihan. Dan tak jauh beda dengan siswa yang lain, kini ia mulai terlihat wajar dan baik-baik saja.

Selang beberapa tahun dan aku kembali menemuinya, ya lantaran perubahan sikapnya seusai lama meninggalkan bangku SMA.

“sebenarnya ada apa?” tanyaku,
“maksudnya?” penasaran.

Setelah panjang berbincang, ahirnya terdengar sendiri olehku perkataannya yang terkesan menggurui. Bahasanya rancu dan jauh dari focus. Tapi aku masih berkias dengan kepura-puraan.

“Mungkin sudah saatnya kita jauh dari rumah, aku tak ingin terlalu lama berdiam diri dan menjadi pecundang. Kamu tentu mengerti apa yang aku maksud?”

Mendengar itu, akupun segera mencairkan suasana.
“Memang secepat ini? Kira-kira wanita beruntung mana yang akan kau pinang? Hehe”

“Berhentilah bergurau! Aku tak ingin menghabiskan waktuku dengan gurauanmu itu, aku dan kamu sudah saling mengerti ke mana arah perbincangan ini. Dan bukan sebuah kebetulan kita bisa bertemu sapa di sini. Bukankah begitu? Cobalah untuk focus.”

“kau benar, sengaja aku ke sini untuk menemuimu dan memang bukan tanpa alasan. Mendengar cerita beliau, seolah-olah kalau keluarga kita ini yang bersalah" belum usai aku bicara dan ia memotongnya.

“keluarga, apa aku tak salah dengar? Apa ini yang kau sebut dengan keluarga, seorang ayah yang mengajak anak-anaknya untuk minum bersama, ayah yang menggemborkan tentang moral dan ia sendiri menyimpan botol di kamarnya? Kalian munafik.”
Mendengar pernyataannya itu, aku merasa sangat terpukul.

“maaf, mungkin kau benar. Aku tahu kau kecewa.”kataku merendah.

“yang paling dalam”

“Ini bukan tentang rumah atau sisi gelapnya,
tapi tentang kau yang secepat badai memporanda.
Lalu sirna, tiba-tiba menghilang entah ke mana. kemudian sekarang, lihatlah dirimu dengan segala keangkuhanmu.”

“Ini hidupku. Sebuah kesalahan telah mengenal kalian. Dan jangan pernah libatkan adik-adikku! Aku takkan rela jika kalian racuni mereka dengan dalil yang menjerumuskan mereka pada kegagalan.” Ucapannya semakin keras.

“apa maksudmu?” tanyaku lantang.

“tak usah berpura-pura lagi.’

“lalu kenapa baru sekarang kata-kata itu terlontar? Di mana suaramu saat kau masih bersanding dan menikmati kegembiraan yang kau telan dulu bersama kami? Sekarang siapa yang munafik? Apa kau malu bersama kami? Dan pada ahirnya, di sinilah kau akan berteduh saat gerimis turun.” Ia hanya terdiam.

“Maaf, kini aku sudah memiliki cara hidup yang lebih baik. Aku berbeda dengan kalian semua, termasuk kau yang seperti robot. Kau yang tak punya pegangan hidup.”

“itu lucu.”

“menurutmu begitu? Aku tak butuh kalian dalam menyeberangi jembatan panjang, aku sudah mampu berdiri sendiri. Dengan pekerjaan yang mampu menjamin kehidupanku, dan bukan sekedar janji seperti yang telah di sumpahkan padaku dulu.”

“mungkin memang belum saatnya”

“sampai kapan? Sampai putus harapanku? Justru seseorang yang kuanggap hebat no 2 dalam kehidupanku dulu, kini mampu membuat diriku menjadi lebih berarti. Ia memang tak mampu berjanji, tapi ia menunjukkan jalan padaku. Setelah beberapa lama aku memamahami keduanya, kini aku sadar kalau aku salah dalam bersandar. Ia lebih hebat dari pada ayah kita, dari segi manapun aku menganggapnya lebih unggul darinya. Ya seorang ayah yang pernah mengajakku minum.”

“dan kini kau melupakan keduanya? kenapa tak bersembunyi saja dalam almari jika memang ingin hidup sendiri. Kau lupa, kau sendiri yang bilang kalau tak ingin lagi mengagung-agungkan seseorang bukan? Tapi lihat dirimu sekarang?”

“ahiri saja percakapan ini dan anggap saja kita tak pernah bertemu sebelumnya.”

“kau benar tapi aku akan semakin merasa bersalah jika tak menegurmu, adikku. Pulanglah dan minta maaflah pada beliau, perkataanmu kemarin membuat beliau bersedih. Tak sepantasnya kau berkata demikian. Jika memang kejadian kemarin adalah sesuatu yang membuatmu resah, jika keberadaan keluarga ini adalah sebuah kesalahan, katakan sesuatu pada siapa yang pernah memberimu sumpah, sudah saatnya mulai berbenah, jika kau terus bersembunyi, selamanya tak akan pernah ada jalan tengahnya”

Tak lama setelah di mana aku bertemu dengannya, aku mendengar kabar tentangnya pagi itu.
Sikap berlebihannya itu membawanya pada ruang di mana dia hanya di pandang sebelah mata, semua orang meledeknya dan ia mengira kalau itu adalah sebuah pujian. Ia mabuk dengan sapaan agung dan penghormatan dari lingkungannya yang sekarang.

selang beberapa minggu tak ada kabar darinya, beberapa orang datang kerumahku dan membawakan jaket yang biasa di kenakan olehnya. Ya, jaket kebanggaannya. Setelah berbincang lama, aku pergi menemuinya dan menjemputnya pulang. Tubuhnya yang kaku tak lagi merasakan sentuhanku, “beristirahatlah dengan tenang adikku.”

Jepara, September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar