Masih seperti pada malam-malam
sebelumnya, menjamu para wisatawan dari berbagai daerah yang secara sengaja
berkunjung ke sini dan melihat rumah tua peninggalan bangsa penjajah. Misteri
rumah berhantu yang kerap disebut-sebut warga kampung, bukanlah
yang pertama kali menggemparkan kampung. Tak lama
setelah kunyalakan api unggun persis di tengah-tengah halaman rumah sang pendongeng, nampak beberapa wisatawan muda berdatangan, para mahasiswa dari fakultas
yang jauh.
“Malam itu aku di kejutkan dengan teriakan
dari rumah yang berada di ujung jurang sana. Teriakannya menikam telinga hingga
hatiku rasa-rasanya seperti di remas oleh ribuan tangan. Namun aku selalu
mencoba bertahan, walaupun, ya, aku lebih sering kalah dan memilih untuk menenggelamkan
kepalaku ke dalam bak mandi yang kumuh di belakang kalian itu.”
Beberapa menengok kebelakang dan
merasa sangat jijik melihat bak mandi yang kumuh di belakang mereka.
“Dan apa kau tahu yang terjadi
seusainya? Suara ribuan pasukan menyerbu rumah itu dan membakar lantai atas. Perlahan lenyap. Setelah beberapa menit
terlewat, aku kemudian tersadar dan sudah tergelatak di sebelah bak kumuh yang
sering aku gunakan untuk mencuci kakiku seusai pulang dari ladang.”
berapa dari mereka terlihat
mual lantaran membayangkan apa yang tengah dilakukan sang pendongeng kala itu.
“Tapi tenang saja, kita masih punya
banyak waku berbincang sampai suara yang aku maksud tadi kembali bergemuruh memenuhi
halaman ini. Dan aku tidak sedang menakut-nakutimu, inilah yang terjadi. Suara
wanita yang aku maksud itu tak lain adalah suara ketakutan pemilik rumah yang
beberapa bulan ini sudah ketiga kali berganti penghuni. Tak lain karena suasana
mencekam di setiap malamnya.”
Kemudian aku mengangkat ikan-ikan
yang sejak tadi aku panggang di api unggun.
“Ah........ ayo nikmati makananmu
sebelum jeritan itu merampas nafsu makanmu. Ya, menghilang perlahan seperti
jeritan yang tenggelam, seolah terkubur dalam lumpur hidup yang menyedot siapa
saja yag berada di permukaan. Oya, tolong tambahkan kayu bakarnya, aku tak
mau cahaya di sini redup dan mematikan suasana mencekam ini.” kata pendongeng itu sambil
tertawa.
“He, kenapa diam? Bicaralah anak
muda. Apa kau takut? Tenang saja, dari sini masih sangat jauh perjalanan yang
harus di tempuh para pasukan berjubah hitam itu untuk meramaikan malam kita.
Maaf, itu hanya bualan.” Ucapnya lalu tertawa.
“Jangan tegang begitu, oya tambahkan
lagi kayu bakarnya. Sekarang bicaralah, apa yang ingin kau ketahui tentang rumah
itu dan misteri di dalamnya?”
“Ah, aku mengerti. Kau ingin aku
menuntaskan ceritaku ini bukan? Baiklah simak baik-baik dan buktikan setelah
ini.”
Perbincangan kami malam itu semakin
rumit, rasa keingintahuan mereka tentang misteri rumah itu semakin menjadi-jadi.
Selain itu, orang ini nampaknya berhasil mencuri perhatian. Kemudian ia
melanjutkan ceritanya.
“Di setiap tengah malam yang dingin
seperti ini, angin melambat kemudian udara menghangat, kemudian
membakar ruang di lantai atas. Terahir aku ke sana sudah tak ada lagi perabotan
yang bisa di gunakan, namun akan berubah menjadi bongkahan emas di setiap udara hangat seperti malam ini. ya emas yang berlimpah dan seorang lelaki tua yang
membawa mahkota raja di tangannya. Entah siapa dia? Tapi lelaki tua itu hanya
diam dan tersenyum saat hatimu berkata, aku menginginkan emas yang ada di sana.”
Ia membuat kami menjadi takut dengan suaranya yang serak.
“Mungkin berarti darah segar atau
batu nisan. Yang jelas ia akan tertawa setiap sekeping saja dari emasnya
berhasil keluar dari rumah itu. Ssssssssstttttttt... dan apa kau tahu apa yang
terjadi setelahnya? Tidak penuh hitungan jam, akan ada lelaki dengan cangkulnya
dan beberapa wanita membawakan bunga ke pemakaman, begitu yang aku tahu. Dan
tentu saja aku tak pernah memiliki sekeping dari emas yang berada di rumah itu. Namun tak menutup kemungkinan akan ada sesesorang yang mampu menguasainya
suatu saat nanti. Entah keluarga atau musuh terdekatnya, ah lebih tepatnya
keluarga yang menyimpan dendam dan menginginkan kematian pemilik rumah.” Pak
tua itu mengucap pelan, seakan tak ingin didengar oleh orang di luar cengkerama
kami.
“Tapi sekali lagi aku tekankan,
kalian akan selamat di sini. Kalau tidak, mungkin kalian sudah berhadapan
dengan mayat busuk untuk sekarang ini. hahaha, pasti kalian bertanya-tanya kenapa aku
sangat paham dengan rumah itu bukan? 50 tahun sudah aku menjamahi tanah
kampung ini dan seperti yang kalian lihat, hanya aku, seorang lelaki setengah
baya yang mampu bertahan dengan ancaman ini. ya, lebih tepatnya satu-satunya
yang tersisa.” Katanya sambil memperlihatkan keperkasaanya.
“Tentu, aku sudah pernah memasuki
rumah itu, memainkan setiap perabot di
dalamnya dan mencium aroma segar di setiap sudutnya. Halaman rumahnya sangat
luas, cukup untuk pertandingan bola antar Rt. Berjejer rapi pot-pot bunga dan
rumput segar yang selalu di hinggapi belalang dan capung-capung. Di tengahnya
terdapat sebuah patung besar yang berdiri di atas genangan air mancur yang sudah
kering. Sampah daun berserakan di mana-mana dan 16 belas pohon besar mengelilingi taman yang seram itu.”
“Tangga kayu yang rapuh dan debu
menyelimui lantai teras, membuat aroma rumah menjadi sesak dan membuat burung-burung
gereja tak henti bersin-bersin. Di sisi
kanan dan kiri rumah terdapat hiasan origami yang lusuh dan sobek, nampaknya
buatan anak dari pemilik rumah. Sebuah lonceng besar tergantung di sebelah
kanan pintu dengan tali yaang hampir putus. Tentu saja sudah tidak berfungsi tapi
kalau kau memaksa menarik tali lonceng itu, seluruh penghuninya akan
berhamburan membawa senapan perburuan mereka.”
“Ruang tamu yang luas, cukup untuk
menampung ribuan pasukan seusai perang, lantai keramik berukuran raksasa, karpet
merah terhampar sepanjang ruang bak kerajaan, di hiasi dengan ribuan lilin
setengah meleleh, usang termakan usia. Meja dan kursi tamu bersinar seperti
emas, namun telah tertutup kain putih yang lusuh, debu di sana-sini. Ah tentu
kalian ingin segera mendengarkan tentang emas itu dan di mana letak ruang yang
berisikan penuh dengan emas itu bukan? Pelan-pelan anakku, kita harus lewati
dulu anak tangga yang rapuh. Usai itu membuka ribuan pintu di lantai atas.”
“Aku peringatkan kalau tidak mudah
mencari ruangan itu, kau harus berulang kali melewati kamar yang tak berpenghuni
dan senyap. Sering kali pula harus menghadapi mahluk-mahluk kecil yang secara
tiba-tiba bisa menggingitmu. Kalau kau lempari mereka maka mereka akan semakin
geram karena mereka lebih dulu di sana dan kita adalah tamu. Namun ruangan itu
berbeda, keluar udara segar dari dalam dan nampak bersinar dari kejauhan. Saat
kalian menemukannya, serasa ada magnet yang menarik tangan kalian.”
“Sapalah penghuni di dalamnya, namun
jangan ajak ia berbicang terlalu banyak karena ia lebih suka diam dan tersenyum
kecut. Ia hanya akan menatapmu dari kursi raja di sebelah kanan pintu, dari mana
kalian masuk. Dan hanya akan duduk memandangi kalian mengumpulkan kepingan emas
miliknya.”
“Mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan
untuk malam ini dan sebaiknya kalian pergi tidur sebelum di kejutkan dengan
teriakan wanita dan gempuran pasukan perang dari lantai atas . Selamat malam anak muda dan jangan pernah berharap untuk mendapatkan
kepingan emas itu karna yang ada hanya kematian dan batu nisan berjajar di
pekarangannya.
November 2012
ardyansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar