Minggu, 21 Oktober 2012

SANG PENDONGENG - Malam




Masih seperti pada malam-malam sebelumnya, menjamu para wisatawan dari berbagai daerah yang secara sengaja berkunjung ke sini dan melihat rumah tua peninggalan bangsa penjajah. Misteri rumah berhantu yang kerap disebut-sebut warga kampung, bukanlah yang pertama kali menggemparkan kampung. Tak lama setelah kunyalakan api unggun persis di tengah-tengah halaman rumah sang pendongeng, nampak beberapa wisatawan muda berdatangan, para mahasiswa dari fakultas yang jauh.
 “Malam itu aku di kejutkan dengan teriakan dari rumah yang berada di ujung jurang sana. Teriakannya menikam telinga hingga hatiku rasa-rasanya seperti di remas oleh ribuan tangan. Namun aku selalu mencoba bertahan, walaupun, ya, aku lebih sering kalah dan memilih untuk menenggelamkan kepalaku ke dalam bak mandi yang kumuh di belakang kalian itu.”
Beberapa menengok kebelakang dan merasa sangat jijik melihat bak mandi yang kumuh di belakang mereka.
“Dan apa kau tahu yang terjadi seusainya? Suara ribuan pasukan menyerbu rumah itu dan membakar lantai atas. Perlahan lenyap. Setelah beberapa menit terlewat, aku kemudian tersadar dan sudah tergelatak di sebelah bak kumuh yang sering aku gunakan untuk mencuci kakiku seusai pulang dari ladang.”
berapa dari mereka terlihat mual lantaran membayangkan apa yang tengah dilakukan sang pendongeng kala itu.
“Tapi tenang saja, kita masih punya banyak waku berbincang sampai suara yang aku maksud tadi kembali bergemuruh memenuhi halaman ini. Dan aku tidak sedang menakut-nakutimu, inilah yang terjadi. Suara wanita yang aku maksud itu tak lain adalah suara ketakutan pemilik rumah yang beberapa bulan ini sudah ketiga kali berganti penghuni. Tak lain karena suasana mencekam di setiap malamnya.”
Kemudian aku mengangkat ikan-ikan yang sejak tadi aku panggang di api unggun.
“Ah........ ayo nikmati makananmu sebelum jeritan itu merampas nafsu makanmu. Ya, menghilang perlahan seperti jeritan yang tenggelam, seolah terkubur dalam lumpur hidup yang menyedot siapa saja yag berada di permukaan. Oya, tolong tambahkan kayu bakarnya, aku tak mau cahaya di sini redup dan mematikan suasana mencekam ini.” kata pendongeng itu sambil tertawa.
“He, kenapa diam? Bicaralah anak muda. Apa kau takut? Tenang saja, dari sini masih sangat jauh perjalanan yang harus di tempuh para pasukan berjubah hitam itu untuk meramaikan malam kita. Maaf, itu hanya bualan.” Ucapnya lalu tertawa.
“Jangan tegang begitu, oya tambahkan lagi kayu bakarnya. Sekarang bicaralah, apa yang ingin kau ketahui tentang rumah itu dan misteri di dalamnya?”
“Ah, aku mengerti. Kau ingin aku menuntaskan ceritaku ini bukan? Baiklah simak baik-baik dan buktikan setelah ini.”
Perbincangan kami malam itu semakin rumit, rasa keingintahuan mereka tentang misteri rumah itu semakin menjadi-jadi. Selain itu, orang ini nampaknya berhasil mencuri perhatian. Kemudian ia melanjutkan ceritanya.
“Di setiap tengah malam yang dingin seperti ini, angin melambat kemudian udara menghangat, kemudian membakar ruang di lantai atas. Terahir aku ke sana sudah tak ada lagi perabotan yang bisa di gunakan, namun akan berubah menjadi bongkahan emas di setiap udara hangat seperti malam ini. ya emas yang berlimpah dan seorang lelaki tua yang membawa mahkota raja di tangannya. Entah siapa dia? Tapi lelaki tua itu hanya diam dan tersenyum saat hatimu berkata, aku menginginkan emas yang ada di sana.” Ia membuat kami menjadi takut dengan suaranya yang serak.
“Mungkin berarti darah segar atau batu nisan. Yang jelas ia akan tertawa setiap sekeping saja dari emasnya berhasil keluar dari rumah itu. Ssssssssstttttttt... dan apa kau tahu apa yang terjadi setelahnya? Tidak penuh hitungan jam, akan ada lelaki dengan cangkulnya dan beberapa wanita membawakan bunga ke pemakaman, begitu yang aku tahu. Dan tentu saja aku tak pernah memiliki sekeping dari emas yang berada di rumah itu. Namun tak menutup kemungkinan akan ada sesesorang yang mampu menguasainya suatu saat nanti. Entah keluarga atau musuh terdekatnya, ah lebih tepatnya keluarga yang menyimpan dendam dan menginginkan kematian pemilik rumah.” Pak tua itu mengucap pelan, seakan tak ingin didengar oleh orang di luar cengkerama kami.
“Tapi sekali lagi aku tekankan, kalian akan selamat di sini. Kalau tidak, mungkin kalian sudah berhadapan dengan mayat busuk untuk sekarang ini. hahaha, pasti kalian bertanya-tanya kenapa aku sangat paham dengan rumah itu bukan? 50 tahun sudah aku menjamahi  tanah kampung ini dan seperti yang kalian lihat, hanya aku, seorang lelaki setengah baya yang mampu bertahan dengan ancaman ini. ya, lebih tepatnya satu-satunya yang tersisa.” Katanya sambil memperlihatkan keperkasaanya.
“Tentu, aku sudah pernah memasuki rumah itu, memainkan setiap perabot  di dalamnya dan mencium aroma segar di setiap sudutnya. Halaman rumahnya sangat luas, cukup untuk pertandingan bola antar Rt. Berjejer rapi pot-pot bunga dan rumput segar yang selalu di hinggapi belalang dan capung-capung. Di tengahnya terdapat sebuah patung besar yang berdiri di atas genangan air mancur yang sudah kering. Sampah daun berserakan di mana-mana dan 16 belas pohon besar  mengelilingi taman yang seram itu.”
“Tangga kayu yang rapuh dan debu menyelimui lantai teras, membuat aroma rumah menjadi sesak dan membuat burung-burung gereja tak henti bersin-bersin.  Di sisi kanan dan kiri rumah terdapat hiasan origami yang lusuh dan sobek, nampaknya buatan anak dari pemilik rumah. Sebuah lonceng besar tergantung di sebelah kanan pintu dengan tali yaang hampir putus. Tentu saja sudah tidak berfungsi tapi kalau kau memaksa menarik tali lonceng itu, seluruh penghuninya akan berhamburan membawa senapan perburuan mereka.”
“Ruang tamu yang luas, cukup untuk menampung ribuan pasukan seusai perang, lantai keramik berukuran raksasa, karpet merah terhampar sepanjang ruang bak kerajaan, di hiasi dengan ribuan lilin setengah meleleh, usang termakan usia. Meja dan kursi tamu bersinar seperti emas, namun telah tertutup kain putih yang lusuh, debu di sana-sini. Ah tentu kalian ingin segera mendengarkan tentang emas itu dan di mana letak ruang yang berisikan penuh dengan emas itu bukan? Pelan-pelan anakku, kita harus lewati dulu anak tangga yang rapuh. Usai itu membuka ribuan pintu di lantai atas.”
“Aku peringatkan kalau tidak mudah mencari ruangan itu, kau harus berulang kali melewati kamar yang tak berpenghuni dan senyap. Sering kali pula harus menghadapi mahluk-mahluk kecil yang secara tiba-tiba bisa menggingitmu. Kalau kau lempari mereka maka mereka akan semakin geram karena mereka lebih dulu di sana dan kita adalah tamu. Namun ruangan itu berbeda, keluar udara segar dari dalam dan nampak bersinar dari kejauhan. Saat kalian menemukannya, serasa ada magnet yang menarik tangan kalian.”
“Sapalah penghuni di dalamnya, namun jangan ajak ia berbicang terlalu banyak karena ia lebih suka diam dan tersenyum kecut. Ia hanya akan menatapmu dari kursi raja di sebelah kanan pintu, dari mana kalian masuk. Dan hanya akan duduk memandangi kalian mengumpulkan kepingan emas miliknya.”
“Mungkin hanya ini yang bisa aku ceritakan untuk malam ini dan sebaiknya kalian pergi tidur sebelum di kejutkan dengan teriakan wanita dan gempuran pasukan perang dari lantai atas . Selamat malam anak muda dan jangan pernah berharap untuk mendapatkan kepingan emas itu karna yang ada hanya kematian dan batu nisan berjajar di pekarangannya.

November 2012
ardyansyah

Tak biasa




Adalah rasa yang menyiksa
Mengucur deras penuhi kedua lubang
Menyumbat sesak nafas
Adalah gumpalan siksa
Mengikis  segar udara pagi
Menyisir petang mengintip terang
Surya perlihatkan panorama
Menyusupkan cahaya
Lelehkan gumpalan siksa
Menjemur badan di halaman
Serap panas timur pegunungan
Keindahan sembunyi di antaranya
Lembut udara kian meraba
Di pagi yang tersumbat
Dalam lingkaran bayang-bayang
Tak mampu habiskan
Lekatan-lekatan kotor
Merusak pikirku
Lunakkan keperkasaan
Menantang lembar berserakan

Jepara, 27 september 2012
ardyansyah

Serdadu Muda




Mengadu pada langit muram
Berdoa hingga lunas air mata
Teriring letupan senjata
Menyisir mendung ke tepian
Membuka langit pagi
Mengantar hingga malam tak berbatas
Sekembalinya ia,
Memetik lelah perjalanan
Berputar dan terus menatap
Kegilaan  sekutu
Menghujani sekitar dengan darah
Tergeletak ribuan nyawa
Kesalahan tak harus dibayar dengan kematian
Tapi kebenaran yang perlu di tanyakan

Ini salah siapa?
Tuhan memandang dari kejauhan
Memanggil engkau yang lemah
Bagai melesatnya anak panah
Hilang di antara sasaran yang jauh
Tak pernah kembali
hingga utuh musuh dalam genggaman
hingga utuh satu kemenangan

ya………… pasukan muda
sirnakan saja ketakutan
hantam dan binasakan saja lawan
hingga terdiam tanpa ampunan
karena belas kasihan
tak lagi jadi kebanggan

Jepara, 28 September 2012
ardyansyah

ingin ku jawab Ya



tak pernah terjawab , ya
sengaja melupa setiap kau tanya bagaimana
inginku tahan dalam dekapan
tanpa kata, ya
selami nikmat dosa bersama
abaikan cinta dan kesucian
sanggup terjawab, ya
saat terpuaskan aku
bersamamu menyita masa
penuhi malam dengan ragu
lalu,
detak jam mengganggu
saat kau coba lepaskan genggaman
beranjak tinggalkan hangat
kepayahanmu aku rasa
memecah malam
leburkan sejenak persoalan
kini ku ragu dengan hati
tak sanggup membeli janji
ingin ku kajawab,
ya, ya, ya
aku peduli kasihmu
apa dan bagaimana kau tanya

Jepara, 27 September 2012

Aku tak ingin dimengerti





Ini bukan tentang rumah atau sisi gelapnya,
tapi tentang kau yang secepat badai memporanda.
Lalu sirna

Begitu tegurku saat bertemu dengannya beberapa waktu lalu, seusai mendengar cerita dari saudara-saudaraku tentang perubahan sikapnya. Aku takut kalau hal ini akan semakin membuatnya buta, menjadikannya penghianat yang takut bertatap dengan kenyataan.

Aku hanya tak ingin ia lupa darimana ia mendapatkan keberanian untuk berteriak lantang. Pergaulan luar yang tak mengenal batasan, etika yang di kesampingkan.

Pagi itu aku menyempatkan diri untuk menemuinya, menanyakan kabar, ya serta tentang perubahan sikapnya yang mendadak menjadi pria dewasa. Pria dengan pandangan dan persepsi kuatnya, yang enggan melihat sekitaran. Perubahan yang mengkhawatirkan, terbalut dengan bahasa yang dipaksa dan terkesan menggurui.

Perubahan sikapnya yang amat drastic itu mengingatkanku dengan sesosok lelaki yang  selalu kalah dengan perasaannya sendiri. Ya, dulu sekali.

Ia adalah adik kelasku semasa masih di bangku SMA dulu, masih teringat dengan jelas betapa sempit pemikirannya kala itu. Setiap hari ia hanya duduk di bangkunya, tak seucap katapun yang keluar dari mulut besarnya. Ia merasa sangat kecil entah lantaran karna apa? tapi yang ku tahu kalau ia  adalah seorang lelaki kecil berwajah sedih.

Hal itu membuatku sangat terganggu, pelan-pelan aku mulai terdorong untuk lebih mengenalnya. Tentu saja hal itu membuatku harus rajin masuk sekolah agar bisa menemuinya setiap hari.

Ternyata kepedulian kawan-kawan yang lain membuat perubahan pada dirinya. Sekarang ia mau bergabung dengan salah satu kegiatan ekstra kurikuler sekolah yang kebetulan aku juga terlibat di dalamnya.

Sekian waktu berjalan dan pihak sekolah mulai memperhatikan kemauan besarnya untuk berubah. Namun tak sedikit pula ada beberapa guru yang tersinggung atas sikapnya yang kadang-kadang berlebihan. Dan tak jauh beda dengan siswa yang lain, kini ia mulai terlihat wajar dan baik-baik saja.

Selang beberapa tahun dan aku kembali menemuinya, ya lantaran perubahan sikapnya seusai lama meninggalkan bangku SMA.

“sebenarnya ada apa?” tanyaku,
“maksudnya?” penasaran.

Setelah panjang berbincang, ahirnya terdengar sendiri olehku perkataannya yang terkesan menggurui. Bahasanya rancu dan jauh dari focus. Tapi aku masih berkias dengan kepura-puraan.

“Mungkin sudah saatnya kita jauh dari rumah, aku tak ingin terlalu lama berdiam diri dan menjadi pecundang. Kamu tentu mengerti apa yang aku maksud?”

Mendengar itu, akupun segera mencairkan suasana.
“Memang secepat ini? Kira-kira wanita beruntung mana yang akan kau pinang? Hehe”

“Berhentilah bergurau! Aku tak ingin menghabiskan waktuku dengan gurauanmu itu, aku dan kamu sudah saling mengerti ke mana arah perbincangan ini. Dan bukan sebuah kebetulan kita bisa bertemu sapa di sini. Bukankah begitu? Cobalah untuk focus.”

“kau benar, sengaja aku ke sini untuk menemuimu dan memang bukan tanpa alasan. Mendengar cerita beliau, seolah-olah kalau keluarga kita ini yang bersalah" belum usai aku bicara dan ia memotongnya.

“keluarga, apa aku tak salah dengar? Apa ini yang kau sebut dengan keluarga, seorang ayah yang mengajak anak-anaknya untuk minum bersama, ayah yang menggemborkan tentang moral dan ia sendiri menyimpan botol di kamarnya? Kalian munafik.”
Mendengar pernyataannya itu, aku merasa sangat terpukul.

“maaf, mungkin kau benar. Aku tahu kau kecewa.”kataku merendah.

“yang paling dalam”

“Ini bukan tentang rumah atau sisi gelapnya,
tapi tentang kau yang secepat badai memporanda.
Lalu sirna, tiba-tiba menghilang entah ke mana. kemudian sekarang, lihatlah dirimu dengan segala keangkuhanmu.”

“Ini hidupku. Sebuah kesalahan telah mengenal kalian. Dan jangan pernah libatkan adik-adikku! Aku takkan rela jika kalian racuni mereka dengan dalil yang menjerumuskan mereka pada kegagalan.” Ucapannya semakin keras.

“apa maksudmu?” tanyaku lantang.

“tak usah berpura-pura lagi.’

“lalu kenapa baru sekarang kata-kata itu terlontar? Di mana suaramu saat kau masih bersanding dan menikmati kegembiraan yang kau telan dulu bersama kami? Sekarang siapa yang munafik? Apa kau malu bersama kami? Dan pada ahirnya, di sinilah kau akan berteduh saat gerimis turun.” Ia hanya terdiam.

“Maaf, kini aku sudah memiliki cara hidup yang lebih baik. Aku berbeda dengan kalian semua, termasuk kau yang seperti robot. Kau yang tak punya pegangan hidup.”

“itu lucu.”

“menurutmu begitu? Aku tak butuh kalian dalam menyeberangi jembatan panjang, aku sudah mampu berdiri sendiri. Dengan pekerjaan yang mampu menjamin kehidupanku, dan bukan sekedar janji seperti yang telah di sumpahkan padaku dulu.”

“mungkin memang belum saatnya”

“sampai kapan? Sampai putus harapanku? Justru seseorang yang kuanggap hebat no 2 dalam kehidupanku dulu, kini mampu membuat diriku menjadi lebih berarti. Ia memang tak mampu berjanji, tapi ia menunjukkan jalan padaku. Setelah beberapa lama aku memamahami keduanya, kini aku sadar kalau aku salah dalam bersandar. Ia lebih hebat dari pada ayah kita, dari segi manapun aku menganggapnya lebih unggul darinya. Ya seorang ayah yang pernah mengajakku minum.”

“dan kini kau melupakan keduanya? kenapa tak bersembunyi saja dalam almari jika memang ingin hidup sendiri. Kau lupa, kau sendiri yang bilang kalau tak ingin lagi mengagung-agungkan seseorang bukan? Tapi lihat dirimu sekarang?”

“ahiri saja percakapan ini dan anggap saja kita tak pernah bertemu sebelumnya.”

“kau benar tapi aku akan semakin merasa bersalah jika tak menegurmu, adikku. Pulanglah dan minta maaflah pada beliau, perkataanmu kemarin membuat beliau bersedih. Tak sepantasnya kau berkata demikian. Jika memang kejadian kemarin adalah sesuatu yang membuatmu resah, jika keberadaan keluarga ini adalah sebuah kesalahan, katakan sesuatu pada siapa yang pernah memberimu sumpah, sudah saatnya mulai berbenah, jika kau terus bersembunyi, selamanya tak akan pernah ada jalan tengahnya”

Tak lama setelah di mana aku bertemu dengannya, aku mendengar kabar tentangnya pagi itu.
Sikap berlebihannya itu membawanya pada ruang di mana dia hanya di pandang sebelah mata, semua orang meledeknya dan ia mengira kalau itu adalah sebuah pujian. Ia mabuk dengan sapaan agung dan penghormatan dari lingkungannya yang sekarang.

selang beberapa minggu tak ada kabar darinya, beberapa orang datang kerumahku dan membawakan jaket yang biasa di kenakan olehnya. Ya, jaket kebanggaannya. Setelah berbincang lama, aku pergi menemuinya dan menjemputnya pulang. Tubuhnya yang kaku tak lagi merasakan sentuhanku, “beristirahatlah dengan tenang adikku.”

Jepara, September 2012